Sebagai makhluk
yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku.
Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi
yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat,
tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi
struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan
prasyarat dari sebuah kemajuan.
LINTAS BUDAYA
NAMA : ARI
ASHARI
NIM : 1271042037
KELAS : D
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
APRIL
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Kitapanjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan ridho-Nyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah materi mata kuliah umum Lintas Budaya yang berjudul “Kajian Psikologi
Lintas Budaya Dalam Aspek Kognitif”.
Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
umum Lintas Budaya Fakultas
Psikologi Universitas Negeri Makassar.Kami menyadari bahwa banyak
kekurangan-kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
Demikian
makalah ini kami buat,
apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kesalahan, kami mohon maaf yang
sebesar- besarnya.
Makassar, 08 APRIL2013
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..........................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ………………..............................................1
B. Rumusan
Masalah ...............................................................2
C. Tujuan
Penulisan .................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kognitif Dalam Budaya………………………......................3
B. Pengaruh Kognitif dalam Lintas Budaya.............................. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
......................................................................... 12
B. Saran
.................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagai makhluk
yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku.
Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi
yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat,
tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi
struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan
prasyarat dari sebuah kemajuan.
Lewin memberikan penjelasan mengenai peranan penting
hubungan pribadi dengan lingkungan. Meksipun terdapat konstruk psikologis
individu yang sulit ditembus oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap
memiliki kontribusi dalam perkembangan individu. Dalam teori Medan yang digagas
Lewin ini, pribadi tak dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya.
Kelly mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat
dalam proses harapan-harapan yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki
kelompok budaya yang sama akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam
mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan mereka pun mengembangkan jenis-jenis
harapan yang sama mengenai jenis-jenis perilaku tertentu.
Terdapat suatu benang merah antara pendapat Lewin dan
Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan).
Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan
kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi
permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh
budaya buruk mempengaruhi pola pikir dan kepribadiaan seseorang maka dengan
sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara
terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum
perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana kognitif dalam budaya ?
b. Apa pengaruh kognitif terhadap
lintas budaya ?
C.
Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana kognitif
dalam budaya.
b. Untuk mengetahui pengaruh kognitif
terhadap lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kognitif dalam Lintas Budaya
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh,
mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan (Neisser,1976). Dalam psikologi,
kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif
juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola
pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap
individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya
sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti
luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka
mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas
(dalam arti luas) untukmemenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis)
yang diseimbangkandengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari
lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam
pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:
1. Kecerdasan Umum
Flynn
membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14
negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang
dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data
trsebut diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15
poin (dalam 1 standar deviasi) pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ
bukan ukuran mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn
adalah sebuah informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia
memperlihatkan kemampuan rata-rata dalam tes IQ dan populasi adalah jauh dari
kesetabilan dan dapat berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun
1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157 sisiwa putus
sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan
untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan
indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan
suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari
suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan. Penemuan dari Van
Vijver mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok
sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang
kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
Mc. Shane
dan Berry mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes
kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan,
gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk
melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan
kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi
kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi
individu dan disorganisasi budaya.
2. Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya
adalah mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat
berbagai tugas diberikan pada seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan
ini) piaget menerangkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
;
a. Faktor
biologis, berada pada sistem saraf.
b. Faktor
keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan
lingkungan
c. Faktor social
d. Faktor perpindahan budaya, termasuk
didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik
Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya
Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang
homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang menggunakan paradigma
ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak
mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam
mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sama disetiap
tempat dan kebudayaan tertentu. Pada tahun 1987 Dasen dan Ribaupiere
menyimpulkan bahwa teori Piagetian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
1. Struktur
invarian yang diabtasi adalah independent
2. Model dapat
diterapkan kepada beberapa domain.
3. Perilaku
spontan dapat diobservasi.
4. Model
menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan perbedaan
antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
5. Ada konvergensi
antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
6. Mereka
menyebabkan adanya spesifikasi domain.
3. Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik
epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana”
dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model
kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat
kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan
asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi
pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang
berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang
bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara
yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola
kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang
dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima
lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak
belakang seperti menganalisis atau membangun.
Para
pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang
berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga
sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga
sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif
ekologi memberikan cangkupan yang sangat luas untuk menguji keaslian dari
perbedaan-perbedaan model.
4. Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu
metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut
diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu
kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai
Contextualized cognition. Untuk memperkuat pendekatan mereka,
cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas
kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian
adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang
menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung
berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
B.
Pengaruh
kognitif terhadap lintas budaya, antara lain:
Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks
lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh
Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan
seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan
orang lain serta lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua
berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of
control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana
lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal
melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat
ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara
masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat
cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga
seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka
bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia
yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan
mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut
internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat
kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang
lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan
seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya.
Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain,
termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada
tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan
perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan
individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual
adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang
paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal
dan insteransi dalam diri.
Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas
dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan
antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai
makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu
memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta
untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka
bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling
ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut
eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan
harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas
dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada
status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung
jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling
terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas,
fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri
dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya
diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek
diri dalam hubungan.
Persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan
Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri
mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan
kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang
menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa
dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat
kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan
respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat
saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung
memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon
situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang
dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat
kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih
cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya
dengan orang lain.
Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi
kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu
dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki
serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain
juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan
interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil
kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh
aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan
tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan
konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian
psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan
pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya
disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki
kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling
tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga
dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis
kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual,
motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang
terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi
timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan
adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu
dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama
orang-orang terdekat.
Peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan
memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent.
Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut
internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan
diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri
terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok,
memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri
interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan
menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari
kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
BAB III
Penutup
Hakikat dari perbedaan yang ada di muka
bumi, yaitu agar manusia saling mengenal sesamanya. Adanya latar belakang
budaya yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan perbedaan pemikiran. Namun
demikian, perbedaan pemikiran itu hendaknya tidak melulu menjadi suatu
perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan
bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen.
Ketepatan kita dalam memandang suatu
permasalahan melalui perspektif tertentu akan dapat mengeliminasi permusuhan
antar golongan. Sebagaimana dikemukakan oleh Freud, pada hakikatnya insting
mati memang telah ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, penggunaan sudut
pandang yang tepat dalam mengkaji suatu masalah budaya adalah langkah yang
tepat untuk dapat mengendalikan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum.
Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi
Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar