Cerdas Dan Cerdas : Salah satu objek wisata andalan pemerintah dan masyarakat Kabupaten
Bulukumba adalah Makam Dato Tiro, di kampung Hila-hila, Kelurahan Eka
Tiro, Kecamatan Bontotiro. Makam yang sudah berusia ratusan tahun itu,
hingga kini tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan,
baik wisatawan lokal, maupun wisatawan nusantara dan wisatawan
mancanegara.
Lokasi objek wisata tersebut terletak sekitar 180 km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan waktu sekitar 4-5 jam. Tarif bis umum dari Makassar ke Bontotiro antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
Lokasi objek wisata tersebut terletak sekitar 180 km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan waktu sekitar 4-5 jam. Tarif bis umum dari Makassar ke Bontotiro antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
Ulama Dari Sumatera
Siapa sebenarnya Dato Tiro? Dari berbagai literatur diketahui bahwa Dato Tiro sebenarnya hanyalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat atas penghargaan dan rasa hormat. Nama aslinya adalah Abdul Djawad. Versi lain menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani. Abdul Djawad atau Al Maulana Khatib Bungsu datang ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya dari Sumatera, yaitu: Khatib Makmur yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih dikenal dengan Dato Patimang.
Mereka bertiga adalah murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama salah seorang walisongo (wali sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17) dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin, dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kebomas, Gresik. Pada tahun 1600-an Masehi, Abdul Djawad menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya. Adapun raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia.
Launru Daeng Biasa adalah cucu keempat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro. Kedatangan Abdul Jawad yang bergelar Al Maulana Khatib Bungsu ke Tiro (Bontotiro) dapat diterima oleh masyarakat setempat, karena dirinya memiliki kesaktian dan sentuhan ajaran Islam yang dibawanya menanamkan kesadaran religius keyakinan untuk hidup zuhud, suci lahir batin, selamat dunia akhirat, dalam kerangka tauhid ‘appasseuang (meng-Esakan Allah SWT). Berbeda dengan sahabatnya (khatib Makmur atau Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman atau Dato Patimang), khatib Abdul Djawad menekankan pelajaran tasawwuf sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan.
Khatib Abdul Jawad inilah yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga masyarakat setempat memberinya gelar Dato Tiro. Kata dato digunakan oleh masyarakat setempat karena dialek mereka sulit mengucapkan kata datuk, tetapi dato sama artinya dengan datuk. Kata dato kemudian berubah arti menjadi kakek atau nenek atau orang tua yang dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar